Selasa, 27 Desember 2016

K-pop; Narkoba yang Bikin Nagih (bagian I)

Malam ini, nggak tahu kenapa, pengen banget cerita-cerita tentang K-pop; yang udah lama gue dengar lagu-lagunya. Mungkin ini bakal jadi curhat biasa aja, dan menjadi postingan terakhir di tahun 2016.
Dan... sepertinya ini akan menjadi curhatan yang benar-benar panjang. Mungkin akan dilanjutkan sisanya di tahun 2017!

------

Sebagian besar teman-teman di sekolah dulu tahu kalau gue bukan penikmat lagu barat seperti Jonas Brother, Miley Cyrus, Demi Lovato, dan sebagainya yang hits pada jamannya. Nggak tahu kenapa dulu gue kurang suka denger lagu berbahasa inggris. Kalau dibilang ngerti artinya sih ya ngerti, tapi bukan menjadi suatu keharusan untuk mendengarkannya. Juga gue nggak tertarik untuk mendengarkan lagu-lagu sejenisnya. Sepertinya memang masalah selera. Di satu sisi, gue suka banget dengerin lagu-lagu Indonesia, yang pada masanya masih enak-enak didengarkan lagunya seperti lagu dari Dewa, Letto, Nidji, Peterpan (saat ini bernama NOAH), Vierra, dan lainnya. Saat itu gue merasa wawasan perpustakaan lagu-lagu yang gue tahu sangatlah sedikit--ya, hanya berkisar di lagu-lagu Indonesia aja. Sedangkan teman-teman memiliki list lagu yang beragam. Namun kembali lagi, ini masalah selera doang. Walau begitu, gue bukan tipikal orang yang menutup kemungkinan untuk mendengarkan lagu-lagu barat. Selama enak didengar, why not?

ppsstt... karenanya, bahasa inggris gue nggak berkembang. 

Ah... hingga masuk ke sekolah menengah pertama, gue masih sangat menutup hasrat untuk mendengarkan lagu-lagu barat. Pokoknya selera gue dulu benar-benar lagu Indonesia aja. Udah. Gitu doang.

Hingga pada suatu hari nih, gue iseng buka sebuah forum di kask*s yang memiliki tema "operasi plastik" di kalangan idol Korea. Saat itu gue kelas 2 SMP. Rifa saat SMP memang suka buka-buka kask*s, terselub*ng, dan semacamnya. Dulu itu, yang dicari di internet masih sebatas hal-hal lucu, hal-hal yang berkaitan dengan pelajaran, atau hanya sekedar membuka facebook untuk berbincang dengan teman-teman. Gue coba baca dengan seksama, saat itu grup yang digunakan sebagai materi pada forum adalah Girls' Generation. 

Girls' Generation (saat masih lengkap)

Gue fokus ke materinya, yang mana sebenarnya mengupas sebuah fakta klasik tentang "haters" yang mencoba mencari celah kekurangan dari grup satu ini. Mencoba mengesampingkan itu semua, nyatanya gue fokus dengan foto-foto mereka yang benar-benar sempurna! Semenjak dulu gue tahu, kalau cewek-cewek Asia Timur itu cantik-cantik, putih-putih, bening-bening, pokoknya perfect. Hingga akhirnya karena terpesona dengan sembilan cewek tersebut, gue coba cari-cari tahu info lagi tentang mereka. Namun sebelum itu, gue iseng lihat music video mereka yang judulnya Oh!


Oh! by Girls' Generation

Lagu apaan ini?!
Awalnya geli, tapi kontennya menarik. Warna-warnanya cerah, sembilan perempuan ini cantik dan memiliki postur tubuh yang ideal, dan tentu saja bikin iri!

Fakta-fakta tentang operasi plastik dan segala hal yang membuat mereka diserang oleh haters tersebut nyatanya nggak ampuh di gue. Hingga saat ini, gue masih menyangkal hal-hal tersebut. Biarlah jikalau mereka operasi plastik, karena bukan itu yang gue lihat sepenuhnya. Masih ada faktor-faktor lain yang menyebabkan "ini lho yang bikin gue demen sama mereka".
Hingga pada akhirnya, orang pertama yang gue kasih tahu tentang ini adalah adek gue. Sejujurnya, gue malu buat bilang "eh ini lho, aku suka sama grup korea yang X". Saat itu, masih ada hal yang tertanam di diri gue kalau k-pop itu alay. Iya, alay. Gue coba hasut adek untuk melihat video mereka, tapi di satu sisi gue juga masih deny kalau gue suka sama grup tersebut dengan "ini lagunya jelek banget kayak dangdut! tapi mereka bagus sih narinya". Ya, you know it right.

Ternyata, adek gue sendiri suka dengan grup tersebut. Hal ini menjadikan gue semakin tertarik untuk mengulik tentang k-pop itu sendiri, terutama grup Girls' Generation. Hingga akhirnya gue mendeklarasikan diri sebagai SONE (dibacanya Sowon, nama penggemar grup Girls' Generation. Sowon sendiri artinya adalah harapan dalam bahasa Korea).

Semakin lama, gue mencoba menghasut teman-teman gue sendiri, dan ya... mereka juga kena virus k-pop ini.

--to be continued.

Minggu, 02 Oktober 2016

20 Tahun

Post ini sengaja dibuat dalam rangka telah menyentuh usia dua puluh (20) tahun.

Di tanggal dua oktober 2016 ini, usiaku genap dua puluh (20) tahun. Angka dua puluh mungkin sekedar angka, tapi usia dua puluh seperti menapaki hidup yang lebih baru. Apa bedanya aku di dua puluh tahun hari ini dengan di sembilan belas tahun sehari sebelumnya? Sebenarnya tidak ada, tapi angka menjadi sebab bagaimana jarak usia seakan terpaut cukup banyak.

Btw, angka dua adalah angka favoritku. Bahkan, aku menobatkan angka dua sebagai angka keberuntunganku. Jika aku disuruh memilih angka-angka, jika angka dua masih tersedia, aku akan memilihnya. Sehingga mengapa di usia ke dua puluh tahun ini, aku berharap yang terbaik. 
Sepuluh tahun ke belakang ada banyak sekali kejadian yang terjadi. Sepuluh tahun lalu mungkin aku masih kelas tiga SD. Kelas tiga SD itu sebenarnya sudah cukup lama. Aku sudah tidak ingat banyak sepuluh tahun yang lalu itu. Namun memang benar adanya, bahwa kejadian-kejadian yang cukup penting terjadi di sepuluh tahun terakhir ini.
Banyak fase-fase penting yang sebenarnya tidak bisa diceritakan rinci di sini; saking banyaknya. Jika ingin flashback secara umum pun aku juga tidak sanggup untuk mengingatnya. Namun, bagaimana aku melewatinya sejauh ini, mungkin itu yang ingin aku syukuri adanya.
Banyak orang mengatakan di luar sana bahwa usia dua puluh tahun sudah cukup dikatakan dewasa. Sejujurnya, ada beban di sana yang menjadi bayang-bayangku sejak satu-dua tahun terakhir--sejak usia delapan belas tahun aku sudah memikirkan hal tersebut. Terdapat suasana batin yang mana tidak ingin dibayang-bayangi oleh dua puluh tahun itu. Hingga hari ini, hari pertamaku di usia dua puluh tahun, aku masih belum bisa menerima sepenuhnya bahwa aku telah meninggalkan usia belasanku tersebut; rasanya tidak sama seperti sepuluh tahun lalu saat aku memasuki usia dua digit. Usia belasan bagiku rasanya seperti usia yang mana aku masih bisa bebas bermain-main, sok serius, sok dewasa, dan (sejujurnya) masih kekanak-kanakan. 
Dua puluh tahun mungkin memang sekedar angka--patut disyukuri bahwa aku masih bisa bertahan hingga di dua puluh tahun. 
Aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun pada diriku sendiri--selamat menapaki fase baru, yang lebih dewasa dan mungkin akan lebih berkesan ke depannya.

Mungkin sekian curhat norak dariku, yang baru saja berumur dua puluh tahun.

salam,
Rifa Nadiah

Minggu, 13 Maret 2016

Gitarku

Hari ini aku mau cerita tentang gitar yang aku punya. Sekedar iseng memang, dan agar gitarku ini punya ceritanya sendiri di blogku.

Dulu banget, jaman-jamannya blog ini masih baru di sekitar tahun 2010, aku pernah bikin sebuah cerita tentang gitar baruku atau gitar pertamaku saat itu di blog ini, tapi sudah aku hapus karena suatu alasan yang aku sendiri pun lupa...

Gitar pertamaku.

Minatku terhadap musik sebenarnya sudah terlihat sejak masih balita. Di saat adik perempuanku lebih senang bermain boneka atau rumah-rumahan, aku lebih senang dibelikan permainan yang melatih psikomotorik, seperti puzzle, lego, dan alat musik mainan. Aku menjadi tidak heran mengapa saat besarnya tertarik pada alat musik.

Awal mula aku bisa mendapatkan gitar ini bermula dari keinginanku untuk belajar gitar lebih jauh lagi saat kelas satu SMP. Sebelumnya, aku sudah belajar organ dan aku memiliki alat musiknya di rumah. Saat itu yang terbayang tentang gitar adalah barangnya mudah dibawa ke mana-mana dan tidak terlihat makan tempat seperti organ. Tidak pentingnya adalah aku bisa menyandingkan organ dengan gitar di ruang tamu...
Oke, bukan itu. Terpenting adalah saat itu aku berpikir bahwa jika kita bisa bermain gitar, maka akan terlihat sangat keren sekali! Terlebih aku adalah perempuan, di mana biasanya perempuan itu terbilang tidak banyak yang bisa main gitar.
Papa adalah tipikal ayah yang mendukung kegiatan anaknya selama hal itu positif. Saat itu aku berpikir bahwa jika aku meminta untuk dibelikan gitar, maka pasti akan dibelikan. Saat itu pun aku tidak terlalu ngoyo untuk dibelikan gitar. Kenaikan kelas pun aku jadikan ajang untuk meminta gitar pada papa, dan aku sendiri yang menentukan syaratnya. Papa pun setuju!

Saat pembagian rapot, rupanya tidak sesuai ekspektasiku. Di rumah, aku nangis. Bukan nangis karena nilai jelek, tapi karena gitar pun seakan-akan melayang begitu saja dari harapan... 

Beberapa hari kemudian, papa pergi dinas ke luar kota. Saat itu, aku benar-benar tidak meminta gitar karena aku sadar bahwa aku tidak memenuhi syarat yang bahkan aku buat sendiri. Namun, malam hari di hari pertama papa dinas, ternyata dia telah membelikan aku sebuah gitar! 

AKU . SENANG . BANGET !

Seketika aku langsung mencari buku chord gitar yang aku punya. 
Jadi, ceritanya dulu waktu kelas enam SD, aku pernah belajar gitar karena pelajaran musik saat itu mempelajari gitar. Kita disuruh fotocopy semacam rangkuman yang isinya chord itu tadi, dengan gambar bagaimana jarimu seharusnya di batang gitar. 
Untung saja bukunya ketemu.

Saat papa pulang, aku dengan semangat segera memainkan gitar yang bahkan bunyinya tidak karuan sama sekali. Sesegera mungkin aku stem gitar baru itu meskipun aku baru paham seminggu kemudian...

Seiring berjalannya waktu, penghibur di kala senggangku adalah gitar. Aku benar-benar semangat sekali. 

Aku pun tipikal orang yang tidak akan menyia-nyiakan sesuatu yang memang sudah aku kejar. Tiada sehari pun tanpa belajar atau bermain gitar, bahkan hingga hari ini.

Aku sudah bisa mendeklarasikan diriku bisa bermain gitar dengan lancar sekitar enam bulan kemudian. Berjalannya waktu, aku dan temanku, Prima, berpikir men-cover lagu. Ini video pertama kita:

Itu adalah video pertama kita. Saat itu kita masih kelas tiga SMP. Ini video empat tahun lalu.

Saat kita sudah SMA, barulah mengenal yang namanya Soundcloud (klik saja, maka akan terhubung ke soundcloud milik kami)

Dengan begitu, tidak jarang kami diajak untuk tampil di beberapa acara di sekolah. Sayangnya, aku tidak memiliki gitar akustik. Gitarku hanyalah gitar untuk pemula yang tidak bisa terhubung dengan amplifier. Beruntungnya adalah Prima memiliki gitar yang dibutuhkan. Sehingga selama tiga tahun di SMA, aku tidak pernah tampil menggunakan gitarku sendiri; selalu meminjam gitar milik Prima.

Aku sadar, aku membutuhkan gitar akustik agar tidak selalu meminjam gitar. Sering aku meminta pada papa untuk dibelikan gitar akustik, tapi jawabannya "pinjam mbak Prima saja dulu" (Prima, ini papaku beneran ngomong gitu, lho...... lol) dan papa pun berjanji, "nanti saja, ya, kalau sudah kuliah."
Bayanganku saat itu adalah KULIAH MASIH SANGAT LAMA. Aku tidak sabar rupanya.

Saat itu aku berpikir memiliki gitar akustik memang semata-mata hanya untuk kebutuhan jika tampil saja. Toh, sebenarnya hingga saat ini pun aku lebih senang bermain gitar dengan senar nylon karena lebih enak dan bunyinya lebih klasik.

Hingga suatu hari di mana aku harus merantau ke Yogyakarta untuk kuliah, dan di situ pula aku tidak membawa gitarku. Aku benar-benar tidak mengingat janji papa yang sudah aku katakan tadi. Hingga saat di mana aku membutuhkan gitar untuk tampil di kampus pada minggu pertama. Di sana lah aku baru sadar bahwa aku sangat membutuhkan gitar. Akhirnya, aku meminta pada papa dan dibelikannya. Menjadi sebuah kejutan sepulang dari ospek terakhirku di Gadjah Mada.


Yamaha fx310

Terima kasih, Papa! Dia sangat menepati janjinya. "Yang penting dipakai, ya!" kata Papa. Batinku... "kapan sih aku nggak pernah pakai yang beginian?"

Sehingga total gitar yang aku punya ada dua. Ingin memboyong gitar yang di Bontang, tapi apa lah dayaku.

Sepertinya sekian dulu cerita tentang kedua gitarku. Akhirnya kalian memiliki cerita tersendiri di blog ini. 

Jumat, 11 Maret 2016

Penulisan Kalimat adalah Hal Penting

Saya mungkin bisa dibilang sebagai orang yang cukup ribet tentang cara menulis yang baik dan benar. Semenjak saya SMP kelas satu pun, sebenarnya saya sudah cukup memperhatikan bagaimana memilih kata saat membuat sebuah kalimat--meskipun saat itu saya masih belum begitu memperhatikan penulisan tempat atau imbuhan seperti -nya, -mu, -ku, dsb--.

Semenjak SD, saya sudah tertarik untuk membuat puisi yang indah. Dari situ, saya senang berkata manis. Saat itu saya memang sedang hobi-hobinya bernyanyi di kamar, dan sejak kecil pun saya memang telah memiliki minat yang sangat besar terhadap musik; saya ingin menjadi seorang musisi kala besar nanti.  Batin saya saat itu adalah saya ingin seperti Ahmad Dhani yang memiliki lagu-lagu dengan lirik indah. Saya masih ingat, saat itu saya masih kelas lima atau kelas enam. Saya sangat senang mendengarkan lagu Dewa 19, di antaranya;

  • Risalah Hati; Cintaku tanpa sambutmu, bagai panas tanpa hujan. Jiwaku berbisik lirih, "ku harus memilikimu".
  • Kangen; Percayalah padaku, aku pun rindu kamu. Ku akan pulang melepas semua kerinduan yang terpendam.
  • Roman Picisan; Malam-malamku bagai malam seribu bintang yang terbentang di angkasa bila kau di sini.
  • Pupus; Semoga aku akan memahami sisi hatimu yang beku. Semoga akan datang keajaiban hingga akhirnya kau pun mau.
Dari sana, saya mencoba untuk bisa membuat kalimat-kalimat puitis. Saat itu saya berpikir, bahwa puisi adalah salah satu wadah yang bisa saya gunakan; bahkan hingga detik ini. Saya senang sekali jika membuat puisi. Hingga saat pelajaran Bahasa Indonesia di kelas tujuh pun saya sangat bersemangat untuk membuat puisi. Namun seperti yang sudah saya katakan, bahwa saat itu saya belum memperhatikan secara keseluruhan dalam penulisan yang baik. Mungkin untuk penulisan tempat, saya sudah baik. Namun, saya masih sering beranggapan bahwa kata -di pada dimakan tetap sama jika ditulis menjadi di makan. Padahal sudah jelas salah. Dimakan artinya makanan tersebut ada yang memakan. Sedangkan di makan, berarti berada di suatu tempat yang disebut sebagai makan. Got it? Saya baru benar-benar menyadarinya saat SMA kelas satu, meskipun masih sering terlupa.


Pun dengan milikmu. Saya masih sering menulisnya menjadi milik mu. Rasanya sangat geli untuk menyadari bahwa itu sudah jelas tidak tepat.

Semenjak kelas satu SMA--atau bahkan sejak awal--, saya memang lebih sering menulis dengan kalimat yang baku. Teman-teman saya banyak sekali yang bertanya, "Kak, kenapa sih kamu kalau ngetik tuh baku banget? Kata-katanya bijak." Dalam hati, saya sering berkata, "ya memang gitu lah harusnya..."

Saat kelas dua SMA, saya pernah sekitar dua kali mengikuti sayembara menulis novel yang diselenggarakan oleh sebuah penerbit kenamaan di Indonesia, dan keduanya pun tidak ada yang lolos... Setahun kemudian, saya mencoba membuka draft itu kembali dan saya sadar... buruk sekali cara penulisan saya. Wajar tidak lolos. Dibaca oleh mereka pun mungkin tidak mau semenjak paragraf pertama.

Sesantai-santainya saya dalam mengetik di media sosial seperti ini pun masih bisa dibilang selalu menggunakan ejaan yang baik maupun cara penulisan yang cukup baik pula. Penggunaan tanda koma, titik, tanda seru, tanda tanya adalah hal yang saya perhatikan sekali. Saya sudah terbiasa sejak lama, sehingga untuk pengoreksian dalam penulisan bukanlah hal yang serta-merta muncul di benak saya di akhir rangkaian menulis, tapi memang jari-jari ini refleks untuk mengoreksi secara langsung jika ada yang salah.

Namun, bukan berarti saya sudah sangat baik dalam membuat kalimat, tapi saya setidaknya telah belajar untuk membuat kalimat yang baik dan benar.

Pun saya mungkin tidak menyadari bahwa di tulisan ini bisa jadi masih ada cara penulisan yang kurang tepat.

Sekian.

Senin, 16 November 2015

Sukacitaku Tertinggal di Kota Bontang

Bontang telah menjadi kota saya tinggal selama 18 tahun lamanya.
Bisa membaca tentang Bontang di sini.

Saya, di Pelabuhan PT Pupuk Kaltim, tbk., sekitar tahun 1997

Papa telah bekerja di Kota Bontang jauh sebelum saya lahir yang menjadikan Kota Bontang sebagai kota yang sangat saya rindukan saat ini.
Saya tinggal di sebuah lingkungan yang homogen; monoton. Inner circle berkutat di situ-situ saja. Antara tetangga satu dengan yang lainnya saling mengenal dan cukup kuat pertemanannya. Saya tinggal di sebuah kompleks perumahan perusahaan di mana papa saya bekerja.
Orangnya itu-itu aja. 
Tinggal di comforted zone memang sangat membahagiakan. Saya sudah terlanjur betah.
---------------
Saya dan Atika, adik saya, di Pantai Marina, PT Badak NGL
Sedari kecil, saya telah beradaptasi dengan lingkungan perumahan ataupun Kota Bontang itu sendiri. 18 tahun lamanya tinggal di sana, seharusnya saya tidak merasa tersesat di kota sendiri. 
---------------
Saya bersekolah di yayasan perusahaan di mana papa saya bekerja.

Yayasan Pupuk Kaltim

Sejak TK hingga SMA, saya bersekolah di yayasan tersebut. Tidak punya niatan ingin bersekolah di luar. 
Pernah satu ketika saat saya baru lulus SD, teman-teman mulai banyak yang berbondong-bondong mendaftarkan diri ke sekolah negeri, misalnya SMPN 1. Mulanya, saya sedikit dipaksa oleh papa dan mama untuk mendaftar ke sekolah tersebut, namun saya menolak. Bukan kenapa-kenapa. Tapi bagi saya, kalau ada sekolah yang lebih dekat dengan rumah dan masuknya lebih mudah, mengapa tidak? 

:)

Masuk ke yayasan ini tidak dengan test, kok. Yayasan ini sangat baik hati. Mereka tidak menyeleksi siswanya untuk masuk ke sekolah mereka. Mereka tidak mencari yang terbaik, namun mereka mencari mereka yang ingin menjadi terbaik.

Namun, saat SMP saya mendaftarkan diri untuk masuk ke kelas percontohan. (di beberapa posting-an saya, saya menyebutnya sebagai kelas model)
Saya harus test saat itu. Saya lolos.

Anak Kelas Model Periode 2009-2012

Saya lagi-lagi berada di zona aman.
---------------
Saya dengan teman-teman saya, saat SD kelas 6, memang mendaftarkan diri bersama-sama untuk masuk kelas model. Sehingga pun kami akhirnya bertemu lagi di SMP hingga lulus.

Sungguh pun kami sudah terlanjur akrab, sehingga 3 tahun waktu berlalu pun saya habiskan dengan sukacita. Bisa membaca ceritanya di sini.

Rasa sukacita tersebut tertinggal di Kota Bontang.
---------------
Saat-saat SMA adalah masa-masa di mana saya dapat lebih mengeksplor lingkaran pertemanan saya. Yang awalnya hanya di antara 25 anak, menjadi luas lagi. Yang dulunya tidak (atau enggan/sungkan/malu) mau berteman dengan anak-anak di luar anak kelas model, saat SMA saya banyak bergaul dengan mereka. Karena, toh, di SMA sudah tidak ada lagi kelas model atau kelas reguler. Kita semuanya sama. Kita semua harus berbaur satu sama lain. Menurut saya, itu adalah langkah terberat yang pertama di SMA. Beruntungnya, saya bisa melewati itu dengan sangat baik.

Pertemanan saya sangat menyenangkan di SMA. Dari yang namanya melihat teman-teman saling menyontek saat ulangan (saat SMP dulu, hampir tidak ada yang mau menyontek), atau bolos kelas, tidak sopan pada guru, dan sebagainya. Saya belajar menerima karakter teman saya masing-masing. Saya lebih dapat menerima perbedaan yang ada.


Anak Kelas X-5

Karena dulunya saat SMP saya adalah anak kelas model, terkadang saya masih sering mendapat ucapan seperti; "Rifa, sih, dulunya anak model!". Kadang kesal juga masih mendapat stereotype seperti itu, namun faktanya saya dulunya memang anak kelas model yang tertutup. Wajar saja. Kadang bangsat juga, sih, saya pikir. 

Kalau saat istirahat, anak-anak kelas model masih mengubu. Terkadang, anak-anak lain ikutan nimbrung. Bahagia sekali, rasanya. Kadang juga ada yang nyeletuk, "astaga anak model masih akrab aja, sih." Bahagia juga mendengarnya.

Anak Kelas XII IPS-1

Di kelas XII ini, saya merasa beruntung dapat masuk ke kelas yang--menurut saya--, adalah salah satu kelas terbaik yang saya masuki. Anak-anaknya seru, bahagia bareng, gondok bareng (karena salah satu anak. lol), dan sebagainya. (Kangen banget sama kalian, TELE(P)HONE)
---------------
Saat-saat pengumuman SNMPTN tiba, saya dan banyak teman memang tidak diterima. Saya memilih mengikuti bimbel di sekolah, yang mendatangkan tentor SSCI dari Yogyakarta. Di sini pun, saya mendapatkan keluarga baru. Tentornya ramah-ramah, temannya--kebetulan--dapat yang seru-seru. Malam hari selalu ke Seruni, di mana tentor tinggal di sana selama hampir 1,5 bulan. Seharusnya malam itu adalah jadwal belajar mandiri, tapi saya dan gank lebih banyak menghabiskan waktu buat nongkrong bersama tentor. Hari Sabtu seusai tryout dan Minggu pun sering digunakan buat nongkrong. Terkadang untuk menginap di sana--tentunya di wisma tentor perempuan.

Hingga hari ini, 15 November 2015, saya dan teman-teman region Yogyakarta masih menyempatkan bertemu dengan tentor di Yogyakarta. Lagi-lagi, saya senang dan bahagia.
---------------
Semua cerita saya, selama 18 tahun hidup, lebih banyak dihabiskan di Bontang. Karena selama 18 tahun itu juga, saya memang tidak pernah berpindah tempat tinggal.

Bukankah tidak mengherankan jikalau saya sering galau ingin pulang ke Bontang?

Kenangan yang tercipta sudah terlanjur banyak terjadi di sana. Saya besar di sana, sehingga Kota Bontang menjadi saksi bagaimana aku menjadi seperti sekarang.

Sukacitaku tertinggal di Kota Bontang.
Aku hanya ingin kembali lagi ke sana, barang seminggu atau dua minggu saja.
Mencoba kembali menikmati sesuatunya yang belum sempat aku nikmati.
Sekedar nostalgia meskipun hanya sebentar.

Kota Bontang bukanlah kota yang mudah ditempuh perjalanannya. Terkadang, itulah yang membuat saya berpikir berulang kali jika ingin pulang. Lebih baik saya pulang ke Bontang untuk jangka waktu yang cukup lama. Itulah alasan mengapa liburan seminggu pun saya tidak pernah mencoba untuk pulang ke Bontang, meskipun saya sanggup.

Karena rumah adalah tempat yang nyaman.
Rumahku telah memanggilku untuk kembali.
Karena ia tahu ada yang menghilang.




Segelintir cerita norakku malam ini,
olehnya yang rindu kota ia dibesarkan.

Rifa Nadiah Rahmaidar Purba
15 November 2015

Senin, 27 Juli 2015

Sebuah Langkah Baru

"Jaga kekompakan dan kekeluargaan kita, yah. Siapa yang tahu apakah di acara reunian 10 tahun ke depan kita masih bisa ber25+3 atau bahkan udah ada yang pergi atau mungkin LUPA sama sesamanya. Entahlah. Intinya, aku kangen kalian semua." -Nadiah Khansa, 29 Juli 2012 dalam sebuah tulisannya di sosial media; facebook.

Sebenarnya malam ini saya berniat untuk mengerjakan essay untuk ospek. Namun sejak pagi hari, saya sibuk membuka facebook. Saya sedang dilanda kebingungan. Ya, saya sedang kebingungan hari ini. Berniat mengerjakan essay agar tidak menjadi beban yang tertunda. Ditambah dengan gigi saya yang sedang dalam keadaan tidak baik, saya menjadi hilang arah dalam berpikir.

Iseng saya scroll down profil facebook saya, tiba-tiba saya menemukan "sesuatu" yang mendadak membuat saya rindu akan sesuatu. Sebuah tulisan yang, mungkin, dulu pernah membuat saya merasakan apa yang saya rasakan malam ini pula; namun dalam kondisi yang sedikit berbeda.

Saya merindukan Model Class 2009-2012

Kini, di tahun 2015 ini, kami akan memulai sesuatu yang baru, yang lain, atau berbeda. Kami kuliah. Ya. Kami akan kuliah di masing-masing perguruan tinggi negeri maupun swasta, atau sekolah tinggi, atau institut, ataupun lainnya. 

Bahwa inilah perpisahan yang sesungguhnya. 

Saya masih ingat betul bagaimana kami-kami ini saat kelas 6 SD bersama-sama ingin mencoba mendaftar ke SMP YPK di program kelas model atau kelas percontohan. Fun fact-nya adalah kelas model didominasi oleh anak-anak dari kelas 6C SD-1 YPK, termasuk saya. Tidak heran, saat kami tahu bahwa kami semua lolos, kami bisa sangat akrab di hari pertama. Tugas berikutnya adalah mengakrabkan diri dengan yang "baru", seperti Dinda, Tirto, Ifur, Rado, Ani, dan Nadiah Khansa.

Saya senang dengan kelas saya saat itu. Ditambah saya tahu bahwa ternyata kelas model ini akan selalu bersama sepanjang SMP di kelas yang sama, dengan jumlah murid yang sama. Hari-hari berlalu, kami yang sudah akrab justru semakin akrab. Saya merasa bahwa saya adalah siswi SMP yang sangat bahagia saat itu.

Bukan berarti dengan masuknya kami di SMP, maka pertemanan kami bertambah luas. Justru tidak. Saya merasa bahwa kami ini sangat tertutup dengan kelas lain. Namun, bukan berarti kami tidak mau berinteraksi. Hanya jarang saja didukung oleh letak kelas yang berjauhan.

Kami akrab, bukan berarti kami selalu harmonis. Banyak pula kisah-kisah ala anak SMP dengan segala kejadian yang sebenarnya bisa membuat geleng-geleng kepala. 

Kelas model memiliki waktu belajar yang sedikit lebih lama daripada kelas reguler. Kami pulang sekolah jam setengah 4 sore. Maka, kami makan siang di sekolah--lebih tepatnya di koridor sekolah--, sholat zuhur bareng, pulang sekolanya juga bareng dengan bis sekolah.

Berebut komputer adalah pemandangan lumrah. Anak perempuan ingin menonton video, sedangkan anak lelaki ingin bermain game.
Saat istirahat siang, kami memang lebih banyak letih. Di saat anak-anak kelas lain jam setengah 2 sudah bisa pulang ke rumah dan beristirahat di kasur untuk tidur siang, kami masih harus belajar lagi. Kami memang letih di satu sisi, tapi kami menjalaninya dengan bahagia. Saat istirahat itulah kami sering berbaring di karpet belakang kelas dengan selimutnya adalah mukena siswi muslim.
Terkadang pula, kami bermain UNO untuk membunuh rasa bosan. Atau berfoto dengan webcam milik Nadia--biasanya.

Kami juga beberapa kali tour ke luar kota bersama-sama, misalnya ke Samarinda, Balikpapan, dan Jawa Timur. Di sanalah saya merasa bahwa kekeluargaan kami semakin  terjalin lebih erat.

Tak lupa kami selalu mengadakan buka bersama setiap tahun setidaknya satu kali yang kami namakan BukBerSamTemTem (Buka Bersama Sama Teman-Teman)

Sebenarnya kami sempat memiliki niatan ingin berpisah dan bergabung dengan kelas reguler di kelas 9. Namun ternyata, sepertinya kami ditakdirkan untuk membuat lebih banyak lagi kenangan maupun kisah untuk, kurang lebih, satu tahun ke depan.

Dengan adanya yang memilih untuk melanjutkan sekolah ke Jawa, saya merasa akan sangat kehilangan. 5 orang yang memilih untuk tidak melanjutkan bersekolah di SMA YPK adalah sebuah kenyataan yang lumayan menyedihkan untuk saya. 3 tahun bersama, pada akhirnya harus berpisah juga.

5 teman itu adalah Ira, Julia, Nadia Desratri, Joevita, dan Ridho.

Hingga akhirnya di SMA YPK tinggallah 20/25 MC.

3 tahun di SMA, kami masih sangat akrab. Meskipun berpencar di 8 kelas, dan saat penjurusan saya berpencar sendiri ke jurusan IPS, kami masih sering berkumpul saat istirahat.
Saat tur kampus ke Jawa pun, meskipun kami berbeda kelas, ujung-ujungnya anak-anak MC perempuan sekamar lagi.

Di SMA, saya bergaul dengan banyak teman baru. Namun, terkadang saya tetap merindukan kekompakan MC. Saya memang sulit sekali untuk move on.

Saya masih ingat hari terakhir kami sekolah, kami sempatkan untuk berfoto. Ya, 20/25 MC. Lengkap. Memang tidak dengan formasi utuh. Setidaknya, 5 teman kami dapat kami bikin iri.



Dan kini, kita lebih berpencar lagi. Bukan sebuah rahasia, bukan, bahwa kita ternyata berpencar tidak hanya di satu negara atau satu kawasan regional. Kita, berpencar di Asia. Ada yang melanjutkan studinya ke Singapore dan yang paling jauh adalah ke Taiwan. Dua negara ini tidak semudah itu untuk dihampiri. Tidak semudah dari Bontang ke Yogyakarta, Bontang-Surabaya, Bontang-Jakarta, Bontang-Bandung, Bontang-Malang, Bontang-Makassar. Bahwa ini adalah berpencar yang sesungguhnya.

Mungkin kita di satu kota bisa berdua-dua, bertiga-tiga, atau bersembilan seperti saya dan 8 teman lainnya yang berada di Yogyakarta. Bahkan, meskipun di satu universitas yang sama, tidak menjamin kami bisa berkumpul sesering dulu, saat masih di bangku sekolah.

Teman-teman, saya mungkin baper parah. Beberapa minggu menuju ke perantauan, mungkin tidak sesedih saat saya tahu bahwa, mungkin, masih harus menunggu beberapa bulan lagi untuk bertemu dengan kamu-kamu yang berada di luar negeri maupun luar pulau Jawa. 

Saya paling menantikan saat-saat kita ber-25 dapat berkumpul bersama. Lengkap. Full team.

Sekali lagi, saya mungkin yang paling sulit untuk move on dari kelas ini. Tapi, untuk mengingat banyaknya kenangan atau kisah-kisah bahagia, sedih, konyol, hingga tidak penting itu memang luar biasa indahnya. Ingin rasanya kembali ke saat-saat itu, dan menunda waktu agar saya tidak kembali ke saat-saat ini.

Di manapun kita berada, kita tahu bahwa kita tidak sepenuhnya hilang komunikasi. Tidak sepenuhnya kita tidak akan bertemu lagi. Saya yakin bahwa kalian tidak akan melupakan kebersamaan ini, meskipun yang tersisa di otak kalian hanya sedikit, seperti pasir-pasir.

Saya ingin mengakhiri ke-lebay-an saya dalam hal ini; kangen Model Class.

Saya hanya ingin, kalian dan saya, sukses di bidangnya masing-masing. Mungkin, 10  tahun lagi, atau beberapa tahun lagi, di saat kita bisa lengkap bertemu, kita dapat bercerita tentang kesuksesan yang menjadi cerita bahagia untuk dibagikan pada 24 temanmu.

Akhir kata, saya benar-benar ingin mengakhiri ini.
------
Kata-kata di atas terdiri 1036 kata, bahkan lebih banyak dari ketentuan essay saya yang minimal terdiri dari 500 kata.

Inilah posting-an Nadiah Khansa, teman saya, yang membuat saya baper parah malam ini.

Terima kasih, bagi kamu yang menyempatkan waktu untuk membaca cerita norak saya.

Selamat malam,

Rifa.





Sabtu, 14 Maret 2015

For The First Time Kehilangan Telepon Genggam

Berhubung ini pengalaman pertama, sebelum gue lupa, maka gue mau cerita sesuatu tentang handphone gue yang "sempat" hilang.

Sebenarnya, nggak bisa dibilang hilang juga. Karena...

Hari ini, Sabtu, 14 Maret 2015, gue tampel. Iya. Tampel seperti biasa yang bedanya bakal dilanjutkan dengan tryout. Kita belajar dulu dua jam pelajaran pertama. Setelah itu jam setengah sembilan, harusnya tryout, tapi anak IPA dulu. Anak IPS nya jam sebelas. It means... Kita boleh ngapain aja selama dua jam itu. Mau pulang kek, mau pergi jalan-jalan kek, mau nunggu di sekolah juga boleh. Gue milih ngikut teman makan di Koperasi. Rencana awalnya ke Koperasi. Karena dekat itu, gue memutuskan untuk naik motor. Sedangkan teman-teman gue milih buat naik mobil semua. Ternyata, mereka mau makan jauh ke Berbas ujung sono. Mau makan gorengan Bastino yang terkenal enak itu. Mau tak mau, gue meninggalkan motor di Koperasi.

Lalu, tiba-tiba di perjalanan, gue merasa meninggalkan handphone di suatu tempat. Coz, handphone gue nggak ada di kantong celana maupun tas. Fix di kantong motor. Teman-teman semua bilang "aman itu Rif kalau ketinggalan di kantong motor. Di Koperasi pula. Aman." Gue tenang banget pokoknya. Gue nggak takut kehilangan juga. Lagian nggak kelihatan ada handphone di kantong motor. Trust me. Tapi, namanya juga gue. Gue orangnya panikan, bos. Akhirnya gue sms mama. Kebetulan tablet gue pulsanya masih banyak. Ternyata mama nggak bisa ambil handphone gue karena lagi ada acara. Lagi-lagi, teman-teman meyakinkan ke gue kalau semua bakal aman-aman saja. Gue pun selalu tenang. Makan-makan gorengan pun berjalan mulus. Enak di lidah, enak di hati. Tentram...

Mama pun balas sms nya juga nggak enak.

kamu kok bisa sih... 

kamu kebanyakan pola. biar aja nggak punya hape mama nggak bisa keluar dari sini

Terus, dengan songongnya gue jawab:

yaudah nggak apa-apa biar aku dibeliin hape baru

HAHAHA.

Hingga akhirnya kita pulang. Gue diantar ke Koperasi. 

"Duh, deg-degan, rek... Kalau nggak ada gimana?"
"Ada, Rif..."

Gue turun dari mobil. Teman-teman nunggu dari mobil. Gue berandai, saat gue meraba kantong motor, gue menemukan handphone dan tersenyum. Ternyata... SHIT

HAPE GUE NGGAK ADA!

Akhirnya gue pasrah sepasrah-pasrahnya disitu. Baliklah ke sekolah. Gue mikir... Gue bawa handphone ke sekolah, nggak, ya... Kayaknya bawa, tapi kayaknya juga nggak bawa. Teman gue bilang, mungkin ketinggalan di kolong meja kelas. Tapi, gue pulang ke rumah dulu untuk cek di kamar. Ternyata nggak ada juga hehehehehe mampus kon.
Gue coba misscall pakai telepon rumah dan hasilnya nihil. Nggak aktif.

Saat itu gue cuma mikir, yang penting nomor hp gue selamat. HP melayang nggak apa-apa yang penting nomornya.

Di sekolah, ketemu sama dua teman gue. Gue cerita kalau handphone gue hilang.
Gue coba ke kelas cari di kolong meja.
Hasilnya nihil.

Akhirnya... Gue telepon nyokap. 
"Mama sudah ambil handphone ku, kah?"
"Mama nggak ngambil, kok. Kamu itu ya blablablablablablablablablablabla"

Kena ocehan.

Gue pasrah...

Selama tryout, pikiran gue kemana-mana. Gue ingat-ingat lagi kalau handphone gue menyimpan yang berharga juga. Seperti nomor rekening gue dan adik, lalu cerita gue ke luar negeri yang akan gue tuang ke blog ini, akun twitter yang nggak ke log-out
Selama itu juga gue mencoba positive thinking. Mungkin ada di kamar adek gue.
10 menit terakhir sebelum gue keluar kelas, gue sms nyokap.

Ma, coba cek hp aku di kamarnya Tika. Sepertinya ada di sana.

Send.

Gue keluar kelas. Gue ke parkiran. Karena hari ini ada Bunkasai, dan ada Kaichou sedang mengurus stand cafe di luar aula, gue menghampirinya dan beberapa saat gue nongkrong ganteng dulu di sana... Bukannya say Hi! malah ngomong "huhu Vin, hp ku hilang." dan gue akan bercerita panjang lebar padanya...

Di saat gue mau cerita sesuatu ke Vina, gue ambil tablet gue dulu. Lalu ada dua pesan. DUA PESAN, BOS. Gue baca...

Awalnya gue pikir isinya bakal:

Kak, hape kamu nggak ada di kamarnya Tika.

Tapi ternyata isinya:

Kak, tryout nya sudah selesai kan. Ayo pulang.
Hape mu sudah mama ambil tadi. wk...wk...wk... =)

KAMPRET.

MAMA PINTAR SEKALI AKTINGNYA.

DIKIRA ANAKMU NGGAK PANIK KALI, YA?!



TERUS, waktu gue udah pulang dan sampai ke kamar, gue menemukan handphone tergeletak indah di meja... beberapa saat kemudian, mama datang ke kamar. Terus, dia ngomong gini:

Mama kira hape nya Tika yang hilang*. Ternyata hape mu. Makanya mama panik.

*: Hape adek gue itu iPhone, bos. Hape gue cuma Blackberry. Perbandingan harganya timpang, kan? Rugi mana hilang iPhone atau hilang Blackberry?

JADI MAMA GUE PANIK AMBIL HAPE GUE KARENA DIKIRANYA iPhone YANG HILANG OH SYITTT.