Senin, 16 November 2015

Sukacitaku Tertinggal di Kota Bontang

Bontang telah menjadi kota saya tinggal selama 18 tahun lamanya.
Bisa membaca tentang Bontang di sini.

Saya, di Pelabuhan PT Pupuk Kaltim, tbk., sekitar tahun 1997

Papa telah bekerja di Kota Bontang jauh sebelum saya lahir yang menjadikan Kota Bontang sebagai kota yang sangat saya rindukan saat ini.
Saya tinggal di sebuah lingkungan yang homogen; monoton. Inner circle berkutat di situ-situ saja. Antara tetangga satu dengan yang lainnya saling mengenal dan cukup kuat pertemanannya. Saya tinggal di sebuah kompleks perumahan perusahaan di mana papa saya bekerja.
Orangnya itu-itu aja. 
Tinggal di comforted zone memang sangat membahagiakan. Saya sudah terlanjur betah.
---------------
Saya dan Atika, adik saya, di Pantai Marina, PT Badak NGL
Sedari kecil, saya telah beradaptasi dengan lingkungan perumahan ataupun Kota Bontang itu sendiri. 18 tahun lamanya tinggal di sana, seharusnya saya tidak merasa tersesat di kota sendiri. 
---------------
Saya bersekolah di yayasan perusahaan di mana papa saya bekerja.

Yayasan Pupuk Kaltim

Sejak TK hingga SMA, saya bersekolah di yayasan tersebut. Tidak punya niatan ingin bersekolah di luar. 
Pernah satu ketika saat saya baru lulus SD, teman-teman mulai banyak yang berbondong-bondong mendaftarkan diri ke sekolah negeri, misalnya SMPN 1. Mulanya, saya sedikit dipaksa oleh papa dan mama untuk mendaftar ke sekolah tersebut, namun saya menolak. Bukan kenapa-kenapa. Tapi bagi saya, kalau ada sekolah yang lebih dekat dengan rumah dan masuknya lebih mudah, mengapa tidak? 

:)

Masuk ke yayasan ini tidak dengan test, kok. Yayasan ini sangat baik hati. Mereka tidak menyeleksi siswanya untuk masuk ke sekolah mereka. Mereka tidak mencari yang terbaik, namun mereka mencari mereka yang ingin menjadi terbaik.

Namun, saat SMP saya mendaftarkan diri untuk masuk ke kelas percontohan. (di beberapa posting-an saya, saya menyebutnya sebagai kelas model)
Saya harus test saat itu. Saya lolos.

Anak Kelas Model Periode 2009-2012

Saya lagi-lagi berada di zona aman.
---------------
Saya dengan teman-teman saya, saat SD kelas 6, memang mendaftarkan diri bersama-sama untuk masuk kelas model. Sehingga pun kami akhirnya bertemu lagi di SMP hingga lulus.

Sungguh pun kami sudah terlanjur akrab, sehingga 3 tahun waktu berlalu pun saya habiskan dengan sukacita. Bisa membaca ceritanya di sini.

Rasa sukacita tersebut tertinggal di Kota Bontang.
---------------
Saat-saat SMA adalah masa-masa di mana saya dapat lebih mengeksplor lingkaran pertemanan saya. Yang awalnya hanya di antara 25 anak, menjadi luas lagi. Yang dulunya tidak (atau enggan/sungkan/malu) mau berteman dengan anak-anak di luar anak kelas model, saat SMA saya banyak bergaul dengan mereka. Karena, toh, di SMA sudah tidak ada lagi kelas model atau kelas reguler. Kita semuanya sama. Kita semua harus berbaur satu sama lain. Menurut saya, itu adalah langkah terberat yang pertama di SMA. Beruntungnya, saya bisa melewati itu dengan sangat baik.

Pertemanan saya sangat menyenangkan di SMA. Dari yang namanya melihat teman-teman saling menyontek saat ulangan (saat SMP dulu, hampir tidak ada yang mau menyontek), atau bolos kelas, tidak sopan pada guru, dan sebagainya. Saya belajar menerima karakter teman saya masing-masing. Saya lebih dapat menerima perbedaan yang ada.


Anak Kelas X-5

Karena dulunya saat SMP saya adalah anak kelas model, terkadang saya masih sering mendapat ucapan seperti; "Rifa, sih, dulunya anak model!". Kadang kesal juga masih mendapat stereotype seperti itu, namun faktanya saya dulunya memang anak kelas model yang tertutup. Wajar saja. Kadang bangsat juga, sih, saya pikir. 

Kalau saat istirahat, anak-anak kelas model masih mengubu. Terkadang, anak-anak lain ikutan nimbrung. Bahagia sekali, rasanya. Kadang juga ada yang nyeletuk, "astaga anak model masih akrab aja, sih." Bahagia juga mendengarnya.

Anak Kelas XII IPS-1

Di kelas XII ini, saya merasa beruntung dapat masuk ke kelas yang--menurut saya--, adalah salah satu kelas terbaik yang saya masuki. Anak-anaknya seru, bahagia bareng, gondok bareng (karena salah satu anak. lol), dan sebagainya. (Kangen banget sama kalian, TELE(P)HONE)
---------------
Saat-saat pengumuman SNMPTN tiba, saya dan banyak teman memang tidak diterima. Saya memilih mengikuti bimbel di sekolah, yang mendatangkan tentor SSCI dari Yogyakarta. Di sini pun, saya mendapatkan keluarga baru. Tentornya ramah-ramah, temannya--kebetulan--dapat yang seru-seru. Malam hari selalu ke Seruni, di mana tentor tinggal di sana selama hampir 1,5 bulan. Seharusnya malam itu adalah jadwal belajar mandiri, tapi saya dan gank lebih banyak menghabiskan waktu buat nongkrong bersama tentor. Hari Sabtu seusai tryout dan Minggu pun sering digunakan buat nongkrong. Terkadang untuk menginap di sana--tentunya di wisma tentor perempuan.

Hingga hari ini, 15 November 2015, saya dan teman-teman region Yogyakarta masih menyempatkan bertemu dengan tentor di Yogyakarta. Lagi-lagi, saya senang dan bahagia.
---------------
Semua cerita saya, selama 18 tahun hidup, lebih banyak dihabiskan di Bontang. Karena selama 18 tahun itu juga, saya memang tidak pernah berpindah tempat tinggal.

Bukankah tidak mengherankan jikalau saya sering galau ingin pulang ke Bontang?

Kenangan yang tercipta sudah terlanjur banyak terjadi di sana. Saya besar di sana, sehingga Kota Bontang menjadi saksi bagaimana aku menjadi seperti sekarang.

Sukacitaku tertinggal di Kota Bontang.
Aku hanya ingin kembali lagi ke sana, barang seminggu atau dua minggu saja.
Mencoba kembali menikmati sesuatunya yang belum sempat aku nikmati.
Sekedar nostalgia meskipun hanya sebentar.

Kota Bontang bukanlah kota yang mudah ditempuh perjalanannya. Terkadang, itulah yang membuat saya berpikir berulang kali jika ingin pulang. Lebih baik saya pulang ke Bontang untuk jangka waktu yang cukup lama. Itulah alasan mengapa liburan seminggu pun saya tidak pernah mencoba untuk pulang ke Bontang, meskipun saya sanggup.

Karena rumah adalah tempat yang nyaman.
Rumahku telah memanggilku untuk kembali.
Karena ia tahu ada yang menghilang.




Segelintir cerita norakku malam ini,
olehnya yang rindu kota ia dibesarkan.

Rifa Nadiah Rahmaidar Purba
15 November 2015