Minggu, 13 Maret 2016

Gitarku

Hari ini aku mau cerita tentang gitar yang aku punya. Sekedar iseng memang, dan agar gitarku ini punya ceritanya sendiri di blogku.

Dulu banget, jaman-jamannya blog ini masih baru di sekitar tahun 2010, aku pernah bikin sebuah cerita tentang gitar baruku atau gitar pertamaku saat itu di blog ini, tapi sudah aku hapus karena suatu alasan yang aku sendiri pun lupa...

Gitar pertamaku.

Minatku terhadap musik sebenarnya sudah terlihat sejak masih balita. Di saat adik perempuanku lebih senang bermain boneka atau rumah-rumahan, aku lebih senang dibelikan permainan yang melatih psikomotorik, seperti puzzle, lego, dan alat musik mainan. Aku menjadi tidak heran mengapa saat besarnya tertarik pada alat musik.

Awal mula aku bisa mendapatkan gitar ini bermula dari keinginanku untuk belajar gitar lebih jauh lagi saat kelas satu SMP. Sebelumnya, aku sudah belajar organ dan aku memiliki alat musiknya di rumah. Saat itu yang terbayang tentang gitar adalah barangnya mudah dibawa ke mana-mana dan tidak terlihat makan tempat seperti organ. Tidak pentingnya adalah aku bisa menyandingkan organ dengan gitar di ruang tamu...
Oke, bukan itu. Terpenting adalah saat itu aku berpikir bahwa jika kita bisa bermain gitar, maka akan terlihat sangat keren sekali! Terlebih aku adalah perempuan, di mana biasanya perempuan itu terbilang tidak banyak yang bisa main gitar.
Papa adalah tipikal ayah yang mendukung kegiatan anaknya selama hal itu positif. Saat itu aku berpikir bahwa jika aku meminta untuk dibelikan gitar, maka pasti akan dibelikan. Saat itu pun aku tidak terlalu ngoyo untuk dibelikan gitar. Kenaikan kelas pun aku jadikan ajang untuk meminta gitar pada papa, dan aku sendiri yang menentukan syaratnya. Papa pun setuju!

Saat pembagian rapot, rupanya tidak sesuai ekspektasiku. Di rumah, aku nangis. Bukan nangis karena nilai jelek, tapi karena gitar pun seakan-akan melayang begitu saja dari harapan... 

Beberapa hari kemudian, papa pergi dinas ke luar kota. Saat itu, aku benar-benar tidak meminta gitar karena aku sadar bahwa aku tidak memenuhi syarat yang bahkan aku buat sendiri. Namun, malam hari di hari pertama papa dinas, ternyata dia telah membelikan aku sebuah gitar! 

AKU . SENANG . BANGET !

Seketika aku langsung mencari buku chord gitar yang aku punya. 
Jadi, ceritanya dulu waktu kelas enam SD, aku pernah belajar gitar karena pelajaran musik saat itu mempelajari gitar. Kita disuruh fotocopy semacam rangkuman yang isinya chord itu tadi, dengan gambar bagaimana jarimu seharusnya di batang gitar. 
Untung saja bukunya ketemu.

Saat papa pulang, aku dengan semangat segera memainkan gitar yang bahkan bunyinya tidak karuan sama sekali. Sesegera mungkin aku stem gitar baru itu meskipun aku baru paham seminggu kemudian...

Seiring berjalannya waktu, penghibur di kala senggangku adalah gitar. Aku benar-benar semangat sekali. 

Aku pun tipikal orang yang tidak akan menyia-nyiakan sesuatu yang memang sudah aku kejar. Tiada sehari pun tanpa belajar atau bermain gitar, bahkan hingga hari ini.

Aku sudah bisa mendeklarasikan diriku bisa bermain gitar dengan lancar sekitar enam bulan kemudian. Berjalannya waktu, aku dan temanku, Prima, berpikir men-cover lagu. Ini video pertama kita:

Itu adalah video pertama kita. Saat itu kita masih kelas tiga SMP. Ini video empat tahun lalu.

Saat kita sudah SMA, barulah mengenal yang namanya Soundcloud (klik saja, maka akan terhubung ke soundcloud milik kami)

Dengan begitu, tidak jarang kami diajak untuk tampil di beberapa acara di sekolah. Sayangnya, aku tidak memiliki gitar akustik. Gitarku hanyalah gitar untuk pemula yang tidak bisa terhubung dengan amplifier. Beruntungnya adalah Prima memiliki gitar yang dibutuhkan. Sehingga selama tiga tahun di SMA, aku tidak pernah tampil menggunakan gitarku sendiri; selalu meminjam gitar milik Prima.

Aku sadar, aku membutuhkan gitar akustik agar tidak selalu meminjam gitar. Sering aku meminta pada papa untuk dibelikan gitar akustik, tapi jawabannya "pinjam mbak Prima saja dulu" (Prima, ini papaku beneran ngomong gitu, lho...... lol) dan papa pun berjanji, "nanti saja, ya, kalau sudah kuliah."
Bayanganku saat itu adalah KULIAH MASIH SANGAT LAMA. Aku tidak sabar rupanya.

Saat itu aku berpikir memiliki gitar akustik memang semata-mata hanya untuk kebutuhan jika tampil saja. Toh, sebenarnya hingga saat ini pun aku lebih senang bermain gitar dengan senar nylon karena lebih enak dan bunyinya lebih klasik.

Hingga suatu hari di mana aku harus merantau ke Yogyakarta untuk kuliah, dan di situ pula aku tidak membawa gitarku. Aku benar-benar tidak mengingat janji papa yang sudah aku katakan tadi. Hingga saat di mana aku membutuhkan gitar untuk tampil di kampus pada minggu pertama. Di sana lah aku baru sadar bahwa aku sangat membutuhkan gitar. Akhirnya, aku meminta pada papa dan dibelikannya. Menjadi sebuah kejutan sepulang dari ospek terakhirku di Gadjah Mada.


Yamaha fx310

Terima kasih, Papa! Dia sangat menepati janjinya. "Yang penting dipakai, ya!" kata Papa. Batinku... "kapan sih aku nggak pernah pakai yang beginian?"

Sehingga total gitar yang aku punya ada dua. Ingin memboyong gitar yang di Bontang, tapi apa lah dayaku.

Sepertinya sekian dulu cerita tentang kedua gitarku. Akhirnya kalian memiliki cerita tersendiri di blog ini. 

Jumat, 11 Maret 2016

Penulisan Kalimat adalah Hal Penting

Saya mungkin bisa dibilang sebagai orang yang cukup ribet tentang cara menulis yang baik dan benar. Semenjak saya SMP kelas satu pun, sebenarnya saya sudah cukup memperhatikan bagaimana memilih kata saat membuat sebuah kalimat--meskipun saat itu saya masih belum begitu memperhatikan penulisan tempat atau imbuhan seperti -nya, -mu, -ku, dsb--.

Semenjak SD, saya sudah tertarik untuk membuat puisi yang indah. Dari situ, saya senang berkata manis. Saat itu saya memang sedang hobi-hobinya bernyanyi di kamar, dan sejak kecil pun saya memang telah memiliki minat yang sangat besar terhadap musik; saya ingin menjadi seorang musisi kala besar nanti.  Batin saya saat itu adalah saya ingin seperti Ahmad Dhani yang memiliki lagu-lagu dengan lirik indah. Saya masih ingat, saat itu saya masih kelas lima atau kelas enam. Saya sangat senang mendengarkan lagu Dewa 19, di antaranya;

  • Risalah Hati; Cintaku tanpa sambutmu, bagai panas tanpa hujan. Jiwaku berbisik lirih, "ku harus memilikimu".
  • Kangen; Percayalah padaku, aku pun rindu kamu. Ku akan pulang melepas semua kerinduan yang terpendam.
  • Roman Picisan; Malam-malamku bagai malam seribu bintang yang terbentang di angkasa bila kau di sini.
  • Pupus; Semoga aku akan memahami sisi hatimu yang beku. Semoga akan datang keajaiban hingga akhirnya kau pun mau.
Dari sana, saya mencoba untuk bisa membuat kalimat-kalimat puitis. Saat itu saya berpikir, bahwa puisi adalah salah satu wadah yang bisa saya gunakan; bahkan hingga detik ini. Saya senang sekali jika membuat puisi. Hingga saat pelajaran Bahasa Indonesia di kelas tujuh pun saya sangat bersemangat untuk membuat puisi. Namun seperti yang sudah saya katakan, bahwa saat itu saya belum memperhatikan secara keseluruhan dalam penulisan yang baik. Mungkin untuk penulisan tempat, saya sudah baik. Namun, saya masih sering beranggapan bahwa kata -di pada dimakan tetap sama jika ditulis menjadi di makan. Padahal sudah jelas salah. Dimakan artinya makanan tersebut ada yang memakan. Sedangkan di makan, berarti berada di suatu tempat yang disebut sebagai makan. Got it? Saya baru benar-benar menyadarinya saat SMA kelas satu, meskipun masih sering terlupa.


Pun dengan milikmu. Saya masih sering menulisnya menjadi milik mu. Rasanya sangat geli untuk menyadari bahwa itu sudah jelas tidak tepat.

Semenjak kelas satu SMA--atau bahkan sejak awal--, saya memang lebih sering menulis dengan kalimat yang baku. Teman-teman saya banyak sekali yang bertanya, "Kak, kenapa sih kamu kalau ngetik tuh baku banget? Kata-katanya bijak." Dalam hati, saya sering berkata, "ya memang gitu lah harusnya..."

Saat kelas dua SMA, saya pernah sekitar dua kali mengikuti sayembara menulis novel yang diselenggarakan oleh sebuah penerbit kenamaan di Indonesia, dan keduanya pun tidak ada yang lolos... Setahun kemudian, saya mencoba membuka draft itu kembali dan saya sadar... buruk sekali cara penulisan saya. Wajar tidak lolos. Dibaca oleh mereka pun mungkin tidak mau semenjak paragraf pertama.

Sesantai-santainya saya dalam mengetik di media sosial seperti ini pun masih bisa dibilang selalu menggunakan ejaan yang baik maupun cara penulisan yang cukup baik pula. Penggunaan tanda koma, titik, tanda seru, tanda tanya adalah hal yang saya perhatikan sekali. Saya sudah terbiasa sejak lama, sehingga untuk pengoreksian dalam penulisan bukanlah hal yang serta-merta muncul di benak saya di akhir rangkaian menulis, tapi memang jari-jari ini refleks untuk mengoreksi secara langsung jika ada yang salah.

Namun, bukan berarti saya sudah sangat baik dalam membuat kalimat, tapi saya setidaknya telah belajar untuk membuat kalimat yang baik dan benar.

Pun saya mungkin tidak menyadari bahwa di tulisan ini bisa jadi masih ada cara penulisan yang kurang tepat.

Sekian.