Senin, 16 November 2015

Sukacitaku Tertinggal di Kota Bontang

Bontang telah menjadi kota saya tinggal selama 18 tahun lamanya.
Bisa membaca tentang Bontang di sini.

Saya, di Pelabuhan PT Pupuk Kaltim, tbk., sekitar tahun 1997

Papa telah bekerja di Kota Bontang jauh sebelum saya lahir yang menjadikan Kota Bontang sebagai kota yang sangat saya rindukan saat ini.
Saya tinggal di sebuah lingkungan yang homogen; monoton. Inner circle berkutat di situ-situ saja. Antara tetangga satu dengan yang lainnya saling mengenal dan cukup kuat pertemanannya. Saya tinggal di sebuah kompleks perumahan perusahaan di mana papa saya bekerja.
Orangnya itu-itu aja. 
Tinggal di comforted zone memang sangat membahagiakan. Saya sudah terlanjur betah.
---------------
Saya dan Atika, adik saya, di Pantai Marina, PT Badak NGL
Sedari kecil, saya telah beradaptasi dengan lingkungan perumahan ataupun Kota Bontang itu sendiri. 18 tahun lamanya tinggal di sana, seharusnya saya tidak merasa tersesat di kota sendiri. 
---------------
Saya bersekolah di yayasan perusahaan di mana papa saya bekerja.

Yayasan Pupuk Kaltim

Sejak TK hingga SMA, saya bersekolah di yayasan tersebut. Tidak punya niatan ingin bersekolah di luar. 
Pernah satu ketika saat saya baru lulus SD, teman-teman mulai banyak yang berbondong-bondong mendaftarkan diri ke sekolah negeri, misalnya SMPN 1. Mulanya, saya sedikit dipaksa oleh papa dan mama untuk mendaftar ke sekolah tersebut, namun saya menolak. Bukan kenapa-kenapa. Tapi bagi saya, kalau ada sekolah yang lebih dekat dengan rumah dan masuknya lebih mudah, mengapa tidak? 

:)

Masuk ke yayasan ini tidak dengan test, kok. Yayasan ini sangat baik hati. Mereka tidak menyeleksi siswanya untuk masuk ke sekolah mereka. Mereka tidak mencari yang terbaik, namun mereka mencari mereka yang ingin menjadi terbaik.

Namun, saat SMP saya mendaftarkan diri untuk masuk ke kelas percontohan. (di beberapa posting-an saya, saya menyebutnya sebagai kelas model)
Saya harus test saat itu. Saya lolos.

Anak Kelas Model Periode 2009-2012

Saya lagi-lagi berada di zona aman.
---------------
Saya dengan teman-teman saya, saat SD kelas 6, memang mendaftarkan diri bersama-sama untuk masuk kelas model. Sehingga pun kami akhirnya bertemu lagi di SMP hingga lulus.

Sungguh pun kami sudah terlanjur akrab, sehingga 3 tahun waktu berlalu pun saya habiskan dengan sukacita. Bisa membaca ceritanya di sini.

Rasa sukacita tersebut tertinggal di Kota Bontang.
---------------
Saat-saat SMA adalah masa-masa di mana saya dapat lebih mengeksplor lingkaran pertemanan saya. Yang awalnya hanya di antara 25 anak, menjadi luas lagi. Yang dulunya tidak (atau enggan/sungkan/malu) mau berteman dengan anak-anak di luar anak kelas model, saat SMA saya banyak bergaul dengan mereka. Karena, toh, di SMA sudah tidak ada lagi kelas model atau kelas reguler. Kita semuanya sama. Kita semua harus berbaur satu sama lain. Menurut saya, itu adalah langkah terberat yang pertama di SMA. Beruntungnya, saya bisa melewati itu dengan sangat baik.

Pertemanan saya sangat menyenangkan di SMA. Dari yang namanya melihat teman-teman saling menyontek saat ulangan (saat SMP dulu, hampir tidak ada yang mau menyontek), atau bolos kelas, tidak sopan pada guru, dan sebagainya. Saya belajar menerima karakter teman saya masing-masing. Saya lebih dapat menerima perbedaan yang ada.


Anak Kelas X-5

Karena dulunya saat SMP saya adalah anak kelas model, terkadang saya masih sering mendapat ucapan seperti; "Rifa, sih, dulunya anak model!". Kadang kesal juga masih mendapat stereotype seperti itu, namun faktanya saya dulunya memang anak kelas model yang tertutup. Wajar saja. Kadang bangsat juga, sih, saya pikir. 

Kalau saat istirahat, anak-anak kelas model masih mengubu. Terkadang, anak-anak lain ikutan nimbrung. Bahagia sekali, rasanya. Kadang juga ada yang nyeletuk, "astaga anak model masih akrab aja, sih." Bahagia juga mendengarnya.

Anak Kelas XII IPS-1

Di kelas XII ini, saya merasa beruntung dapat masuk ke kelas yang--menurut saya--, adalah salah satu kelas terbaik yang saya masuki. Anak-anaknya seru, bahagia bareng, gondok bareng (karena salah satu anak. lol), dan sebagainya. (Kangen banget sama kalian, TELE(P)HONE)
---------------
Saat-saat pengumuman SNMPTN tiba, saya dan banyak teman memang tidak diterima. Saya memilih mengikuti bimbel di sekolah, yang mendatangkan tentor SSCI dari Yogyakarta. Di sini pun, saya mendapatkan keluarga baru. Tentornya ramah-ramah, temannya--kebetulan--dapat yang seru-seru. Malam hari selalu ke Seruni, di mana tentor tinggal di sana selama hampir 1,5 bulan. Seharusnya malam itu adalah jadwal belajar mandiri, tapi saya dan gank lebih banyak menghabiskan waktu buat nongkrong bersama tentor. Hari Sabtu seusai tryout dan Minggu pun sering digunakan buat nongkrong. Terkadang untuk menginap di sana--tentunya di wisma tentor perempuan.

Hingga hari ini, 15 November 2015, saya dan teman-teman region Yogyakarta masih menyempatkan bertemu dengan tentor di Yogyakarta. Lagi-lagi, saya senang dan bahagia.
---------------
Semua cerita saya, selama 18 tahun hidup, lebih banyak dihabiskan di Bontang. Karena selama 18 tahun itu juga, saya memang tidak pernah berpindah tempat tinggal.

Bukankah tidak mengherankan jikalau saya sering galau ingin pulang ke Bontang?

Kenangan yang tercipta sudah terlanjur banyak terjadi di sana. Saya besar di sana, sehingga Kota Bontang menjadi saksi bagaimana aku menjadi seperti sekarang.

Sukacitaku tertinggal di Kota Bontang.
Aku hanya ingin kembali lagi ke sana, barang seminggu atau dua minggu saja.
Mencoba kembali menikmati sesuatunya yang belum sempat aku nikmati.
Sekedar nostalgia meskipun hanya sebentar.

Kota Bontang bukanlah kota yang mudah ditempuh perjalanannya. Terkadang, itulah yang membuat saya berpikir berulang kali jika ingin pulang. Lebih baik saya pulang ke Bontang untuk jangka waktu yang cukup lama. Itulah alasan mengapa liburan seminggu pun saya tidak pernah mencoba untuk pulang ke Bontang, meskipun saya sanggup.

Karena rumah adalah tempat yang nyaman.
Rumahku telah memanggilku untuk kembali.
Karena ia tahu ada yang menghilang.




Segelintir cerita norakku malam ini,
olehnya yang rindu kota ia dibesarkan.

Rifa Nadiah Rahmaidar Purba
15 November 2015

Senin, 27 Juli 2015

Sebuah Langkah Baru

"Jaga kekompakan dan kekeluargaan kita, yah. Siapa yang tahu apakah di acara reunian 10 tahun ke depan kita masih bisa ber25+3 atau bahkan udah ada yang pergi atau mungkin LUPA sama sesamanya. Entahlah. Intinya, aku kangen kalian semua." -Nadiah Khansa, 29 Juli 2012 dalam sebuah tulisannya di sosial media; facebook.

Sebenarnya malam ini saya berniat untuk mengerjakan essay untuk ospek. Namun sejak pagi hari, saya sibuk membuka facebook. Saya sedang dilanda kebingungan. Ya, saya sedang kebingungan hari ini. Berniat mengerjakan essay agar tidak menjadi beban yang tertunda. Ditambah dengan gigi saya yang sedang dalam keadaan tidak baik, saya menjadi hilang arah dalam berpikir.

Iseng saya scroll down profil facebook saya, tiba-tiba saya menemukan "sesuatu" yang mendadak membuat saya rindu akan sesuatu. Sebuah tulisan yang, mungkin, dulu pernah membuat saya merasakan apa yang saya rasakan malam ini pula; namun dalam kondisi yang sedikit berbeda.

Saya merindukan Model Class 2009-2012

Kini, di tahun 2015 ini, kami akan memulai sesuatu yang baru, yang lain, atau berbeda. Kami kuliah. Ya. Kami akan kuliah di masing-masing perguruan tinggi negeri maupun swasta, atau sekolah tinggi, atau institut, ataupun lainnya. 

Bahwa inilah perpisahan yang sesungguhnya. 

Saya masih ingat betul bagaimana kami-kami ini saat kelas 6 SD bersama-sama ingin mencoba mendaftar ke SMP YPK di program kelas model atau kelas percontohan. Fun fact-nya adalah kelas model didominasi oleh anak-anak dari kelas 6C SD-1 YPK, termasuk saya. Tidak heran, saat kami tahu bahwa kami semua lolos, kami bisa sangat akrab di hari pertama. Tugas berikutnya adalah mengakrabkan diri dengan yang "baru", seperti Dinda, Tirto, Ifur, Rado, Ani, dan Nadiah Khansa.

Saya senang dengan kelas saya saat itu. Ditambah saya tahu bahwa ternyata kelas model ini akan selalu bersama sepanjang SMP di kelas yang sama, dengan jumlah murid yang sama. Hari-hari berlalu, kami yang sudah akrab justru semakin akrab. Saya merasa bahwa saya adalah siswi SMP yang sangat bahagia saat itu.

Bukan berarti dengan masuknya kami di SMP, maka pertemanan kami bertambah luas. Justru tidak. Saya merasa bahwa kami ini sangat tertutup dengan kelas lain. Namun, bukan berarti kami tidak mau berinteraksi. Hanya jarang saja didukung oleh letak kelas yang berjauhan.

Kami akrab, bukan berarti kami selalu harmonis. Banyak pula kisah-kisah ala anak SMP dengan segala kejadian yang sebenarnya bisa membuat geleng-geleng kepala. 

Kelas model memiliki waktu belajar yang sedikit lebih lama daripada kelas reguler. Kami pulang sekolah jam setengah 4 sore. Maka, kami makan siang di sekolah--lebih tepatnya di koridor sekolah--, sholat zuhur bareng, pulang sekolanya juga bareng dengan bis sekolah.

Berebut komputer adalah pemandangan lumrah. Anak perempuan ingin menonton video, sedangkan anak lelaki ingin bermain game.
Saat istirahat siang, kami memang lebih banyak letih. Di saat anak-anak kelas lain jam setengah 2 sudah bisa pulang ke rumah dan beristirahat di kasur untuk tidur siang, kami masih harus belajar lagi. Kami memang letih di satu sisi, tapi kami menjalaninya dengan bahagia. Saat istirahat itulah kami sering berbaring di karpet belakang kelas dengan selimutnya adalah mukena siswi muslim.
Terkadang pula, kami bermain UNO untuk membunuh rasa bosan. Atau berfoto dengan webcam milik Nadia--biasanya.

Kami juga beberapa kali tour ke luar kota bersama-sama, misalnya ke Samarinda, Balikpapan, dan Jawa Timur. Di sanalah saya merasa bahwa kekeluargaan kami semakin  terjalin lebih erat.

Tak lupa kami selalu mengadakan buka bersama setiap tahun setidaknya satu kali yang kami namakan BukBerSamTemTem (Buka Bersama Sama Teman-Teman)

Sebenarnya kami sempat memiliki niatan ingin berpisah dan bergabung dengan kelas reguler di kelas 9. Namun ternyata, sepertinya kami ditakdirkan untuk membuat lebih banyak lagi kenangan maupun kisah untuk, kurang lebih, satu tahun ke depan.

Dengan adanya yang memilih untuk melanjutkan sekolah ke Jawa, saya merasa akan sangat kehilangan. 5 orang yang memilih untuk tidak melanjutkan bersekolah di SMA YPK adalah sebuah kenyataan yang lumayan menyedihkan untuk saya. 3 tahun bersama, pada akhirnya harus berpisah juga.

5 teman itu adalah Ira, Julia, Nadia Desratri, Joevita, dan Ridho.

Hingga akhirnya di SMA YPK tinggallah 20/25 MC.

3 tahun di SMA, kami masih sangat akrab. Meskipun berpencar di 8 kelas, dan saat penjurusan saya berpencar sendiri ke jurusan IPS, kami masih sering berkumpul saat istirahat.
Saat tur kampus ke Jawa pun, meskipun kami berbeda kelas, ujung-ujungnya anak-anak MC perempuan sekamar lagi.

Di SMA, saya bergaul dengan banyak teman baru. Namun, terkadang saya tetap merindukan kekompakan MC. Saya memang sulit sekali untuk move on.

Saya masih ingat hari terakhir kami sekolah, kami sempatkan untuk berfoto. Ya, 20/25 MC. Lengkap. Memang tidak dengan formasi utuh. Setidaknya, 5 teman kami dapat kami bikin iri.



Dan kini, kita lebih berpencar lagi. Bukan sebuah rahasia, bukan, bahwa kita ternyata berpencar tidak hanya di satu negara atau satu kawasan regional. Kita, berpencar di Asia. Ada yang melanjutkan studinya ke Singapore dan yang paling jauh adalah ke Taiwan. Dua negara ini tidak semudah itu untuk dihampiri. Tidak semudah dari Bontang ke Yogyakarta, Bontang-Surabaya, Bontang-Jakarta, Bontang-Bandung, Bontang-Malang, Bontang-Makassar. Bahwa ini adalah berpencar yang sesungguhnya.

Mungkin kita di satu kota bisa berdua-dua, bertiga-tiga, atau bersembilan seperti saya dan 8 teman lainnya yang berada di Yogyakarta. Bahkan, meskipun di satu universitas yang sama, tidak menjamin kami bisa berkumpul sesering dulu, saat masih di bangku sekolah.

Teman-teman, saya mungkin baper parah. Beberapa minggu menuju ke perantauan, mungkin tidak sesedih saat saya tahu bahwa, mungkin, masih harus menunggu beberapa bulan lagi untuk bertemu dengan kamu-kamu yang berada di luar negeri maupun luar pulau Jawa. 

Saya paling menantikan saat-saat kita ber-25 dapat berkumpul bersama. Lengkap. Full team.

Sekali lagi, saya mungkin yang paling sulit untuk move on dari kelas ini. Tapi, untuk mengingat banyaknya kenangan atau kisah-kisah bahagia, sedih, konyol, hingga tidak penting itu memang luar biasa indahnya. Ingin rasanya kembali ke saat-saat itu, dan menunda waktu agar saya tidak kembali ke saat-saat ini.

Di manapun kita berada, kita tahu bahwa kita tidak sepenuhnya hilang komunikasi. Tidak sepenuhnya kita tidak akan bertemu lagi. Saya yakin bahwa kalian tidak akan melupakan kebersamaan ini, meskipun yang tersisa di otak kalian hanya sedikit, seperti pasir-pasir.

Saya ingin mengakhiri ke-lebay-an saya dalam hal ini; kangen Model Class.

Saya hanya ingin, kalian dan saya, sukses di bidangnya masing-masing. Mungkin, 10  tahun lagi, atau beberapa tahun lagi, di saat kita bisa lengkap bertemu, kita dapat bercerita tentang kesuksesan yang menjadi cerita bahagia untuk dibagikan pada 24 temanmu.

Akhir kata, saya benar-benar ingin mengakhiri ini.
------
Kata-kata di atas terdiri 1036 kata, bahkan lebih banyak dari ketentuan essay saya yang minimal terdiri dari 500 kata.

Inilah posting-an Nadiah Khansa, teman saya, yang membuat saya baper parah malam ini.

Terima kasih, bagi kamu yang menyempatkan waktu untuk membaca cerita norak saya.

Selamat malam,

Rifa.





Sabtu, 14 Maret 2015

For The First Time Kehilangan Telepon Genggam

Berhubung ini pengalaman pertama, sebelum gue lupa, maka gue mau cerita sesuatu tentang handphone gue yang "sempat" hilang.

Sebenarnya, nggak bisa dibilang hilang juga. Karena...

Hari ini, Sabtu, 14 Maret 2015, gue tampel. Iya. Tampel seperti biasa yang bedanya bakal dilanjutkan dengan tryout. Kita belajar dulu dua jam pelajaran pertama. Setelah itu jam setengah sembilan, harusnya tryout, tapi anak IPA dulu. Anak IPS nya jam sebelas. It means... Kita boleh ngapain aja selama dua jam itu. Mau pulang kek, mau pergi jalan-jalan kek, mau nunggu di sekolah juga boleh. Gue milih ngikut teman makan di Koperasi. Rencana awalnya ke Koperasi. Karena dekat itu, gue memutuskan untuk naik motor. Sedangkan teman-teman gue milih buat naik mobil semua. Ternyata, mereka mau makan jauh ke Berbas ujung sono. Mau makan gorengan Bastino yang terkenal enak itu. Mau tak mau, gue meninggalkan motor di Koperasi.

Lalu, tiba-tiba di perjalanan, gue merasa meninggalkan handphone di suatu tempat. Coz, handphone gue nggak ada di kantong celana maupun tas. Fix di kantong motor. Teman-teman semua bilang "aman itu Rif kalau ketinggalan di kantong motor. Di Koperasi pula. Aman." Gue tenang banget pokoknya. Gue nggak takut kehilangan juga. Lagian nggak kelihatan ada handphone di kantong motor. Trust me. Tapi, namanya juga gue. Gue orangnya panikan, bos. Akhirnya gue sms mama. Kebetulan tablet gue pulsanya masih banyak. Ternyata mama nggak bisa ambil handphone gue karena lagi ada acara. Lagi-lagi, teman-teman meyakinkan ke gue kalau semua bakal aman-aman saja. Gue pun selalu tenang. Makan-makan gorengan pun berjalan mulus. Enak di lidah, enak di hati. Tentram...

Mama pun balas sms nya juga nggak enak.

kamu kok bisa sih... 

kamu kebanyakan pola. biar aja nggak punya hape mama nggak bisa keluar dari sini

Terus, dengan songongnya gue jawab:

yaudah nggak apa-apa biar aku dibeliin hape baru

HAHAHA.

Hingga akhirnya kita pulang. Gue diantar ke Koperasi. 

"Duh, deg-degan, rek... Kalau nggak ada gimana?"
"Ada, Rif..."

Gue turun dari mobil. Teman-teman nunggu dari mobil. Gue berandai, saat gue meraba kantong motor, gue menemukan handphone dan tersenyum. Ternyata... SHIT

HAPE GUE NGGAK ADA!

Akhirnya gue pasrah sepasrah-pasrahnya disitu. Baliklah ke sekolah. Gue mikir... Gue bawa handphone ke sekolah, nggak, ya... Kayaknya bawa, tapi kayaknya juga nggak bawa. Teman gue bilang, mungkin ketinggalan di kolong meja kelas. Tapi, gue pulang ke rumah dulu untuk cek di kamar. Ternyata nggak ada juga hehehehehe mampus kon.
Gue coba misscall pakai telepon rumah dan hasilnya nihil. Nggak aktif.

Saat itu gue cuma mikir, yang penting nomor hp gue selamat. HP melayang nggak apa-apa yang penting nomornya.

Di sekolah, ketemu sama dua teman gue. Gue cerita kalau handphone gue hilang.
Gue coba ke kelas cari di kolong meja.
Hasilnya nihil.

Akhirnya... Gue telepon nyokap. 
"Mama sudah ambil handphone ku, kah?"
"Mama nggak ngambil, kok. Kamu itu ya blablablablablablablablablablabla"

Kena ocehan.

Gue pasrah...

Selama tryout, pikiran gue kemana-mana. Gue ingat-ingat lagi kalau handphone gue menyimpan yang berharga juga. Seperti nomor rekening gue dan adik, lalu cerita gue ke luar negeri yang akan gue tuang ke blog ini, akun twitter yang nggak ke log-out
Selama itu juga gue mencoba positive thinking. Mungkin ada di kamar adek gue.
10 menit terakhir sebelum gue keluar kelas, gue sms nyokap.

Ma, coba cek hp aku di kamarnya Tika. Sepertinya ada di sana.

Send.

Gue keluar kelas. Gue ke parkiran. Karena hari ini ada Bunkasai, dan ada Kaichou sedang mengurus stand cafe di luar aula, gue menghampirinya dan beberapa saat gue nongkrong ganteng dulu di sana... Bukannya say Hi! malah ngomong "huhu Vin, hp ku hilang." dan gue akan bercerita panjang lebar padanya...

Di saat gue mau cerita sesuatu ke Vina, gue ambil tablet gue dulu. Lalu ada dua pesan. DUA PESAN, BOS. Gue baca...

Awalnya gue pikir isinya bakal:

Kak, hape kamu nggak ada di kamarnya Tika.

Tapi ternyata isinya:

Kak, tryout nya sudah selesai kan. Ayo pulang.
Hape mu sudah mama ambil tadi. wk...wk...wk... =)

KAMPRET.

MAMA PINTAR SEKALI AKTINGNYA.

DIKIRA ANAKMU NGGAK PANIK KALI, YA?!



TERUS, waktu gue udah pulang dan sampai ke kamar, gue menemukan handphone tergeletak indah di meja... beberapa saat kemudian, mama datang ke kamar. Terus, dia ngomong gini:

Mama kira hape nya Tika yang hilang*. Ternyata hape mu. Makanya mama panik.

*: Hape adek gue itu iPhone, bos. Hape gue cuma Blackberry. Perbandingan harganya timpang, kan? Rugi mana hilang iPhone atau hilang Blackberry?

JADI MAMA GUE PANIK AMBIL HAPE GUE KARENA DIKIRANYA iPhone YANG HILANG OH SYITTT.

Kamis, 01 Januari 2015

Berlibur ke Negeri Jiran; Liburan Resmi Dimulai!

Selasa, 16 Desember 2014
Kira-kira jam enam pagi, gue sudah terbangun tanpa sengaja. Antara tidur yang cukup, ataukah kepanasan, ataukah karena excited. Jam enam pagi disana ternyata masih gelap banget. Bahkan, subuh disana memang jam enam. Karena terbiasa dengan suasana jam enam yang sudah terang, di Indonesia, mama malah-malah sudah sholat subuh jam lima...... Mantap, ma. Mantap sekali.
Kalau berdasar pikir-pikir bodohnya, Kuala Lumpur letaknya masih sama dengan Sumatera dan Thailand. Namun, Malaysia sendiri jamnya sama dengan WITA. Tidak heran, kenapa jam enam pagi di Kuala Lumpur masih sama gelapnya dengan jam lima pagi di Sumatera dan Thailand dan juga jam tujuh pagi di Kuala Lumpur sama terangnya dengan jam enam di Sumatera dan Thailand. 

Setelah sholat, gue tidur-tiduran sebentar lalu dibangunin Khalil buat sarapan nasi lemak. Setelah sarapan itu, gue sempat ke luar rumah cuma untuk foto suasana pagi di Kajang. Sama aja kayak di Bontang ugh.

Jadi, setelahnya sekitar jam 10-an, kita mau pergi jalan-jalan. WAAA ASIK BANGET akhirnya pergi jalan-jalan juga. Karena gue memang senang banget bawa ransel gue kemana-mana ((meskipun nggak ada isinya sekalipun)) , gue bawa semua yang harus gue bawa semacam dompet dan tongkat narsis... monopod, ding. Siapa tau mau foto-foto.

Dari rumah ke KL mungkin sekitar 30 menit. Kurang lebihnya begitu dengan kendaraan pribadi. 

Sebelum jalan-jalan jauh, ada baiknya kita isi minyak dulu. Baru masuk pom bensin, gue nggak liat ada petugas sama sekali yang kalau di Indonesia pasti penuh dengan petugas berbaju merah... Pertamina. Kalau di sana, kita isi minyak di Petronas. Akhirnya isi minyak di Petronas juga. Penasaran banget kalau di Indonesia kayaknya nggak mampu beli #duh sedih maaf orang miskin in here. Semuanya self-service. Kamu parkir mobil lo tempat isi minyak itu #duh maaf namanya apa sih. Lalu lo tinggal ke counter nya. Gue kurang ngerti juga di counter nya lo ngomong apa aja karena selama di sana saat isi minyak, gue selalu stay di mobil. Jadi, lo bayar berapa Ringgit. Terserah, sih. Kayak di sini aja, kok. Mau beli 100rb atau 150rb atau 200rb. Bebas sakkarep mu. Lalu setelah lo bayar di counter nya, lo balik lagi ke mobil lalu isi. Nanti ngisi otomatis dan stop otomatis. Canggih, ya? Iya. Kecurangan mungkin sedikit terjadi. 
Tapi bukan berarti nggak ada petugas. Ada, kok. Untuk membantu mereka-mereka yang kesusahan. Paling tidak ada satu-dua petugas. Mandiri lah yha. Semua mandiri dan serba canggih. Serba mesin. 
Positif juga kalau kayak gitu. Gue merasa ingin hal demikian diterapkan di Indonesia. Meskipun dampak negatifnya menjadikan lapangan pekerjaan berkurang. Tapi pun gue yakin masyarakat Indonesia belum mau menerapkan hal seperti itu. 
Gue harus akui, Malaysia lebih baik untuk urusan demikian.

Jadi, yang namanya tol itu dimana-mana pasti ada. Tapi yang bedanya tol di sana dengan di sini adalah sistem pembayarannya. Kalau di Indonesia, ada dua sistem pembayaran di tol. Ada yang bayar tunai dan ada yang menggunakan kartu. Kalau di sana... Hampir semuanya pakai kartu, bahkan dibagi dua; Touch n Go & SmartTag. Bukan berarti nggak ada yang bayar secara tunai, tapi kayaknya dari 6 bilik, misalnya, cuma satu yang bisa bayar secara tunai. Lagi-lagi, petugas untuk hal-hal demikian tidak ada. Lagi-lagi semuanya serba mesin. Lagi-lagi... Malaysia unggul.
Di Indonesia ada, kok. Cuma, orang-orang lebih milih bayar tunai. Padahal... Kembaliannya belum tentu sesuai. Belum tentu punya uang pas juga. Hahaha.

Lanjut lagi ke perjalanan. Kita menuju Mid Valley. Mall doang, sih. Gue pikir disana gue cuma mau nge-mall doang. Ternyata tidak. Disana, papa tukar uang Rupiah ke Ringgit dulu. Lalu gue beli kartu perdana untuk bisa berkomunikasi selama di Malaysia. Coba bayangin 2 minggu tanpa komunikasi. Mau jadi apa... Setelah diurus, akhirnya bisa bbm-an dan twitter-an lagi,
Sebenarnya gue nggak ngerti tujuan pasti kesana itu mau ngapain. Karena gue taunya saat itu gue lagi di mall, berarti yang nge-mall. Tapi ternyata enggak... Kita terus jalan sampai ke salah satu lantai lalu kita menuju luar atau ke jembatan yang mengantar kita ke bawah. Jadi, dari atas langsung turun ke bawah naik eskalator. Ini mau kemana?
------------
Nggak lama setelah itu, kita ke... Oh, stasiun kereta api. Kita beli tiket dulu untuk tujuh orang. Ada keluarga gue sama Maktuo dan Kak Sarah. Kita nunggu persis di depan loket agak lama. Nggak ngerti kenapa nunggu disitu. Kenapa nggak langsung masuk aja LOL
Tiba-tiba kerumunan orang muncul EBUSET GILA BANYAK BANGET udah kayak semut-semut raksasa. Gue liatin orangnya satu-satu. Duh, tampang orang sini ternyata gini-gini aja kayak di Surabaya. Melayu ada Chinese ada Bule juga ada India ada. Mereka keluar satu-per-satu lalu gue bisa masuk. 
Masih turun lagi ke bawah duh anjir. Kira-kira gini suasananya.


Stasiunnya bersih sekali. Btw, ini pertama kalinya gue naik kereta api. Ok, pertama kalinya naik kereta api malah di negara orang. Sambil nunggu kereta datang, kita sempet video call sama cucunya maktuo! :)))
Dari Mid Valley ini, kita mau ke KL Sentral. Nunggu keretanya cepat aja, kok. 15 menit sepertinya. Tapi disana terpampang tv yang berisi jadwal kedatangan kereta. Lumayan tepat waktu.

KERETA DATANG. Naik ke kereta harus buru-buru juga. Pintunya terbuka tidak lama. Sebentar saja. Waktu gue masuk... Nggak dapat tempat duduk. Akhirnya gue berdiri. 
Karena gue memang belum pernah naik kereta dan selama ini gue mikirnya kalau naik kereta itu bakal tenang-tenang aja, ternyata goyang-goyang juga. Gue kaget. Cepat iya, goyang iya.
Akhirnya sampai di KL Sentral. Gue pikir udah sampai ke tempat tujuan. Ternyata belum... Kak Sarah ke suatu mesin. Disana kita beli... gue liatnya token biru. Pengganti tiket kertas mungkin, ya? Pakai mesin beli tokennya. Lagi-lagi pakai mesin. Setelahnya kita langsung ke tempat menunggu kereta. Naik kereta seperti biasa saja.

Akhirnya sampai di KLCC! Kita keluar dari area stasiun lalu naik terus ke atas. Ini semacam stasiun dalam mall. Kita keluar mall lalu... ini pemandangan pertama yang gue liat. KEREN. 




Karena menyambut natal, maka ada pohon natal gede dan tinggi sekali. Banyak orang-orang berfoto di depan pohon itu termasuk... Gue.

Iseng-iseng liat ke atas...


Jadi ternyata di bawah menara ini ada mall... Gue kagum banget ngeliatnya. Keren. Pagi-pagi aja keren apalagi kalau malam-malam.




F*cking Awesome! Di tengah kota ternyata ada tempat sebagus itu. Entah itu memang sengaja didesain demikian pun tetap nggak bikin kekaguman dan keterkejutan gue berkurang. Kalau di Jakarta ada tempat yang sebagus itu, gue senang sekali.

Maaf banget kalau perasaan gue suka banding-bandingin Indonesia sama Malaysia. Tapi ini keinginan gue aja. Bagaimana pun gue mau Indonesia punya tempat-tempat sebagus itu meskipun biaya mungkin tak ada......

Karena lagi musim hujan, memang, beberapa menit kemudian setelah gue duduk-duduk menghadap kolam pancuran, tiba-tiba mendung lalu rintik-rintik hujan datang. Tetapi setelah itu langsung reda. 
Papa, sebagai orang yang baru punya handphone baru (ehem cie), jadi foto-foto terus lalu dimasukin ke facebook. #duh. Baru sehari, baru ke satu lokasi, sudah 100 foto. Padahal papa sudah berapa kali ke Malaysia tapi ternyata lebih norak daripada gue sama adek. Mungkin karena for the first time ke luar negeri bareng keluarga, kali ya? Alhamdulillah, Pa. Terima kasih sudah bisa membawa kami sekeluarga ke luar negara.

Sepertinya cukup lama berkeliling sekitar taman, lalu balik lagi ke maktuo, mama, Khalil, dan Kak Sarah yang duduk-duduk di dekat kolam. Papa sama maktuo merokok dulu.

NB: Mereka berdua selalu merokok kalau ada kesempatan xixi

Setelah puas foto-foto, kita balik ke dalam mall. Nama mallnya Suria KLCC. Kita makan di Little Penang Cafe. Cobain deh guys makan disini. Lumayan, kok.

Mee Penang Curry

Lagi pingin makan yang berkuah dan panas, jadinya pesan ini. Siapa tau enak. Rekomendasi Kak Sarah. Ternyata enak!
Setelah selesai makan, akhirnya kami balik lagi ke stasiun untuk balik ke Mid Valley. Lagi-lagi beli token biru.

Gue cukup amazed sama transportasi di KL. Ternyata mereka-mereka yang menggunakan kereta cukup banyak. Kalau kata Kak Sarah ((dia memang pemberi info)), biaya parkir di KL memang cukup mahal. Maka nggak heran, jauh dari pusat KL banyak mobil terparkir rapi. Misalnya di Kajang. Kita baru keluar dari daerah rumah Kak Sarah, sudah ada stasiun KTM. Di pinggir jalan banyak mobil terparkir. Tidak jauh dari sana ada parkiran dan sudah terisi penuh sama mobil-mobil. Memang ada resikonya. Ada satu waktu dimana polisi berkeliaran dan 'menilang' mobil tersebut dan akan didenda dengan nominal sepersekian Ringgit. Tapi, kalau ((lagi-lagi)) kata Kak Sarah, orang-orang sana sudah nggak peduli lagi karena dendanya pun nggak seberapa kalau kita bandingkan dengan gaji mereka yang cukup tinggi. Info lainnya, kalau di mall-mall ada banyak mobil, belum tentu itu mobil pengunjung mall. Bisa jadi itu mobil pekerja yang sengaja diparkir di parkir mall. Hm...
Dan fakta lagi. Di Malaysia, kita bakal banyak menjumpai mobil-mobil keluaran Malaysia itu sendiri. Mereka cinta produk dalam negeri? Belum tentu. Karena pajak dari jika kita membeli kendaraan dari luar Malaysia akan sangat tinggi ketimbang kalau kita membeli produk dalam negeri itu sendiri. Nggak heran kalau disana banyak kita jumpai mobil keluaran Proton. Bisa jadi salah satu strategi untuk mencintai produk dalam negeri dan meningkatkan kualitas produk kita sendiri.

Di Mid Valley, kita belum langsung pulang. Kita jalan-jalan dulu. Nge-mall...

Setelahnya, pulang ke rumah dan beristirahat! :)

-to be continued-